Selasa, 18 Oktober 2016

Analisis Bahan Kering dan Bahan Organik Wafer Limbah Jerami Klobot dan Daun Jagung Selama Penyimpanan.

MUH SHOALIHIN SALEH HUSAIN (I 111 11 047). Analisis Bahan Kering dan Bahan Organik Wafer Limbah Jerami Klobot dan Daun Jagung Selama Penyimpanan. MUHAMMAD ZAIN MIDE (Pembimbing Utama) JASMAL A. SYAMSU,(Pembimbing Anggota)

Penelitian ini bertujuan untuk menguji wafer limbah jerami klobot dan daun jagung dengan penambahan berbagai jenis sumber protein (dedak padi, ampas tahu, tepung ikan, tepung ubi, tepung jagung) berdasarkan lama penyimpanan yang berbeda. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai Februari 2015, di Laboratorium Industri Pakan, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin dalam pembuatan wafer pakan komplit dan penyimpanan pakan. Sedangkan analisis kimia kadar bahan kering dan bahan organik di laboratorium Kimia Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin. Bahan yang digunakan yaitu limbah  jerami jagung  (klobot jagung,  dan daun jagung. Data diolah menggunakan RAL Pola Faktorial 3 x 3 dengan 3 ulangan.  Parameter yang diamati bahan kering dan bahan organik wafer pakan komplit. sidik ragam menunjukkan perlakuan wafer pakan komplit dan lama penyimpanan berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap kandungan bahan kering dan bahan organik.  Dari hasil penelitian disimpulkan perlakuan klobot dan daun jagung dalam wafer pakan komplit menurunkan kadar bahan kering selama masa penyimpanan 4 minggu, tapi masih baik dijadikan sebagai pakan  ternak.
Kata kunci : Wafer pakan, Klobot Jagung, Daun Jagung, Penyimpanan, Bahan kering, Bahan organik
PENDAHULUAN
Pakan merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap produktivitas ternak. Apabila kekurangan pakan, baik secara kualitas maupun kuantitas dapat menyebabkan rendahnya produksi ternak yang di hasilkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan usaha untuk mencari bahan pakan yang berpotensi baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Permasalahan pakan dapat diatasi dengan mencari pakan alternatif yang potensial, murah, mudah diperoleh dan tidak bersaing dengan manusia. Hasil sampingan pertanian merupakan bahan yang mudah diperoleh dan melimpah. Salah satu limbah pertanian yang biasa dimanfaatkan sebagai pakan ternak yaitu jerami jagung. Jerami jagung merupakan limbah pertanian yang cukup banyak tersedia dan sering digunakan sebagai bahan pakan pada saat persediaan rumput berkurang. Limbah tanaman jagung di Sulawesi Selatan meningkat, seiring digalakkannya program pencapaian produksi jagung 1.5 juta ton. Limbah tanaman jagung berkisar 5-6 ton bahan kering per hektar (Anonim, 2006).
Kandungan nutrisi jerami jagung mengandung bahan kering 60%, protein 3,3%, abu 4,4%, serat kasar 20,2%, dan lemak 0,7% (Lubis, 1992). Jerami jagung memiliki kekurangan  yaitu kandungan nutrisi dan daya cernanya yang rendah. Hal ini disebabkan oleh karena dinding selnya sudah mengalami lignifikasi lanjut sehingga selulosa dan hemiselulosa terikat oleh lignin.
Jerami jagung memiliki kandungan bahan kering dan bahan organik merupakan zat nutrisi yang sangat dibutuhkan oleh ternak, namun memiliki serat kasar yang tinggi, kecernaan dan kadar protein yang rendah, sifatnya bulky(voluminous) dan tidak ekonomis serta efisien untuk diangkut ke daerah lain, oleh karena itu dibutuhkan teknologi pengolahan pakan untuk meningkatkan efesiensi penggunaannya agar membuat  bahan  pakan menjadi awet, mudah disimpan dan mudah diberikan.
Salah  satu  teknologi  yang  dapat  digunakan  adalah  teknologi  pengepresan dengan  mesin  kempa  dengan  teknik  pencampuran  bahan  limbah  jerami jagung  menjadi wafer. Wafer pakan sumber serat yang berasal dari limbah jerami jagung di jeneponto merupakan  pakan  alternatif  untuk  mengganti  hijauan  pakan  pada  saat  musim kemarau. Wafer pakan dibuat dengan menggunakan teknik proses pembuatan pakan dengan  bantuan  panas  dan  tekanan.  Komposisi  zat  makanan  dibuat  menyerupai komposisi  hijauan  pakan  sehingga  diharapkan  dapat  disukai  ternak  (palatabel) sehingga dapat diberikan dengan maksimal dan dapat mengatasi kelangkaan hijauan pada musim kemarau.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji wafer limbah jerami klobot dan daun jagung dengan penambahan berbagai jenis sumber protein (dedak padi, ampas tahu, tepung ikan, tepung ubi, tepung jagung) berdasarkan lama. Kegunaan dari penelitian ini kiranya dapat digunakan sebagai informasi kepada peternak tentang teknologi pengolahan limbah jerami klobot dan daun jagung sebagai pakan alternative pada musim kemarau serta dapat di simpan dalam jangka waktu tertentu.
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Umum Limbah Tanaman Jagung
Tanaman jagung dapat tumbuh di berbagai daerah dengan iklim berbeda mulai daerah beriklim sedang sampai daerah beriklim subtropis/tropis yang basah, jagung dapat tumbuh di daerah yang terletak antara 0 – 500 LU dan 0 – 400 LS dan tersebar dari dataran rendah sampai ketinggian 2000 m dpl. Juga dikatakan bahwa jagung tidak membutuhkan persyaratan tanah yang khusus, hampir berbagai macam tanah dapat diusahakan untuk pertanaman jagung. Jagung yang ditanam pada tanah gembur, subur dan kaya akan humus dapat memberikan hasil yang baik. Draenase dan aerasi yang baik serta pengelolaan yang baik akan memberikan produksi yang baik (Rukmana, 1997).
Pucuk tanaman dan daun jagung dapat diberikan pada  ternak pemamah biak,  butir jagungnya untuk manusia. Seluruh batang jagung dapat pula diberikan pada ternak  bila tanaman tersebut gagal sebagai tanaman pangan. Batang jagung dan seluruh pohon  jagung yang telah diambil butir jagungnya dan sudah tua dapat pula diberikan pada  ternak (Huitema, 1986). Menurut Hardjodinomo (1982) bahwa tanaman jagung dapat  hidup di daerah tropis dan subtropis. Temperatur yang optimal untuk tumbuhnya adalah  antara 30 – 32o C temperatur terendah 9 – 10o C dan temperatur tertinggi 40 – 44oC.
Tanaman Jagung setiap kali panen akan menghasilkan  limbah sebagai hasil  sampingan. Adapun yang termasuk jenis hasil limbah  tanaman jagung misalnya batang,  daun jagung (jerami jagung) kelobot dan janggel jagung (Anonim, 1986). Potensi  jerami jagung untuk pakan di Sulawesi Selatan cukup besar disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Luas Panen dan Produksi Tanaman Jagung Kab upaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2012
Kabupaten/Kota Luas Panen (Ha) Produksi (Ton)

Kepulauan Selayar 2.567 5.234
Bulukumba 30.726 110.263
Bantaeng 28.532 172.120
Jeneponto 50.469 239.434
Takalar 2.586 13.274
Gowa 38.677 219.407
Sinjai 2.417 7.773
Maros 3.435 19.037
Pangkep 1.055 5.841
Barru 1.022 5.153
Bone 38.879 170.305
Soppeng 10.394 48.881
Wajo 17.134 76.393
Sidrap 12.321 59.475
Pinrang 11.783 64.674
Enrekang 7.373 39.877
Luwu 5.908 17.344
Tana Toraja 4.126 24.454
Luwu Utara 22.209 99.544
Luwu Timur 4.238 17.151
Toraja Utara 710 2.444
Makassar 14 53
Pare-pare 59 154
Palopo 492 1.869
Sulawesi Selatan 2011 297.126 1.420.154
2010 303.375 1.343.043
2009 299.669 1.395.742
Sumber : Anonim (2012)

Kulit Buah Jagung (Klobot)
Tanaman jagung merupakan komoditas pertanian yang cukup penting baik sebagai sumber pangan maupun pakan ternak. Anonim (2007) melaporkan bahwa produksi jagung di Indonesia sebesar 13.280 juta ton pada luas areal panen 3619 ha dengan produktivitas 3,67 ton/ha.
Potensi bahan kering jeramin jagung sebesar 4,6 ton/ha/musim tanam (bahan kering 21.7%). Lima puluh persen dari total berat tanaman jagung adalah hasil samping yang ditinggalkan setelah panen. Persentase masing-masing hasil samping adalah 50 % batang, 20 % tongkol dan 10 % klobot (Furqaanida, 2004). Data yang hampir sama dilaporkan Anggraeny dkk (2006) hasil samping berupa batang berkisar antara 55.4 – 62.3 %, daun 22.6 – 27.4 % dan klobot antara 11.9 – 16.4 %.
Parakkasi (1995) menyatakan bahwa setelah panen klobot dapat digunakan sebagai makanan ternak ruminansia. Klobot dan tongkol merupakan hijauan, karena itu buah jagung lengkap lebih disukai dibanding dengan biji jagung. Klobot jagung selain berfungsi sebagai pelindung biji jagung dan tongkol untuk mempertahankan kesegaran sehingga tidak akan terlalu keras untuk dikunyah oleh ternak.
Daun Jagung
jagung memanjang dan keluar dari buku-buku batang. Jumlah daun terdiri dari 8-48 helaian, tergantung varietasnya. Daun terdiri dari tiga bagian, yaitu kelopak daun, lidah daun, dan helaian daun. Kelopak daun umumnya membungkus batang. Antara kelopak dan helaian daun terdapat lidah daun atau disebut dengan ligula. Permukaan daun tanaman jagung pada umumnya berbulu dan pada bagian bawah permukaan daun tidak berbulu (Purwono dan Hartono,2006).
Proporsi daun jagung sebesar 22,57 – 27,38% dari limbah tanaman jagung. Nilai palatabilitas yng diukur secara kualitatif menunjukkan bahwa daun jagung lebih disukai ternak dibandingkan batang dan tongkol jagung. Daun jagung memiliki palatabilitas yang baik sebagai pakan ternak sehingga sering digunakan sebagai hijauan pakan untuk ternak ruminansia. Daun jagung memiliki nilai kecernaan bahan kering in vitro sebesar 58% dengan kandungan protein kasar sekitar 10 %. (Umiyasih dan Wina, 2008).
Bahan Kering
Konsumsi adalah faktor esensial yang merupakan dasar untuk hidup pokok dan menentukan produksi. Tingkat konsumsi ternak dipengaruhi oleh berbagai faktor yang kompleks yang terdiri dari hewan, makanan yang diberikan dan lingkungan tempat hewan tersebut dipelihara. Konsumsi merupakan faktor yang penting dalam menentukan jumlah danefisiensi produktifitas ruminansia, dimana ukuran tubuh ternak sangat mempengaruhi konsumsi pakan (Elita, 2006).
Pengukuran konsumsi pakan pada ternak biasanya berdasarkan bahan kering. Konsumsi bahan kering pada ternak dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu faktor pakan yang meliputi palatabilitas dan daya cerna, faktor ternak yang meliputi bangsa, jenis kelamin, umur dan kondisi kesehatan. Konsumsi bahan kering memegang peranan penting karena dalam bahan kering tersebut ternak memperoleh energi, protein, vitamin dan mineral (Anonim, 2008).
Tinggi rendahnya konsumsi pakan pada ternak ruminansia sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu: tempat tinggal (kandang), palatabilitas, konsumsi nutrisi, bentuk pakan dan faktor internal yaitu: selera, status fisiologi, bobot tubuh dan produksi ternak itu sendiri (Kusumaningrum, 2009).
Semakin tinggi kandungan serat kasar dalam ransum maka semakin rendah kecernaan dari ransum tersebut dan akan menurunkan konsumsi bahan kering dari ransum. Pemberian konsentrat terlampau banyak akan meningkatkan konsentrasi energi ransum dan dapat menurunkan tingkat konsumsi sehingga tingkat konsumsi berkurang (Mulyaningsih, 2006).
Nilai konsumsi pakan tinggi disebabkan oleh bentuk pakan lebih halus juga karena bentuk kering udara menyebabkan kambing sering mengkonsumsi air sehingga membantu proses hidrolisis, laju kecernaan pakan serta pengosongan isi lambung cepat mengakibatkan konsumsi pakan meningkat (Ali, 2008).
Jumlah bahan kering pakan yang dapat dikonsumsi oleh seekor ternak selama satu hari perlu diketahui. Konsumsi bahan kering tergantung dari hijauan saja yang diberikan atau bersamaan dengan konsentrat. Konsumsi bahan kering pada ternak kambing pada umumnya adalah 3 - 3.8 % dari berat badan (Tarigan,2009).
Bahan Organik
Bahan organik merupakan bahan kering yang telah dikurangi abu, komponen bahan kering bila difermentasi di dalam rumen akan menghasilkan asam lemak terbang yang merupakan sumber energi bagi ternak. Nilai kecernaan bahan organik (KBO) didapatkan melalui selisih kandungan bahan organik (BO) awal sebelum inkubasi dan setelah inkubasi, proporsional terhadap kandungan BO sebelum inkubasi tersebut (Blümmel dkk., 1997).
Bahan organik merupakan bagian terbesar nutrien yang dibutuhkan oleh ternak. Kualitas bahan kering yang dimakan oleh ternak tidak saja tergantung dari mutu bahan makanan yang dimakan, tetapi juga tergantung ukuran ternak yang memakan bahan makanan tersebut. Konsumsi pakan dipengaruhi oleh laju pencernaan pakan dan tergantung pada bobot badan ternak dan kualitas pakan. Salah satusifat limbah organik yang berkualitas rendah adalah tingginya kandungan lignosellulose yang sulit dicerna ruminansia. Tingginya serat kasar dalam pakan merupakan faktor pembatas lamanya waktu pencernaan sehingga akan mempengaruhi laju pencernaan dan akhirnya menurunkan konsumsi pakan. Peningkatan konsumsi pakan bagi ternak selaras dengan meningkatnya kualitas dan kecernaan pakan yang diberikan, sedang kecernaan pakan tergantung dari kandungan serat yang tidak mampu dimanfaatkan ternak (Ali, 2008).
Bahan organik berkaitan erat dengan bahan kering karena bahan organik merupakan bagian terbesar dari bahan kering. Tinggi rendahnya konsumsi bahan organik akan dipengaruhi oleh tinggi rendahnya konsumsi bahan kering. Hal ini disebabkan karena sebagian besar komponen bahan kering terdiri dari komponen bahan organik, perbedaan keduanya terletak pada kandungan abunya (Murni dkk, 2012).
Wafer
Wafer merupakan pakan sumber serat alami yang dalam proses pembuatannya mengalami pemadatan dengan tekanan dan pemanasan sehingga mempunyai bentuk ukuran panjang dan lebar yang sama (Retnani dkk, 2009),
Keuntungan wafer menurut Basymeleh (2009), adalah : (1) kualitas nutrisi lengkap (wafer ransum komplit), (2) mempunyai bahan baku tidak saja dari hijauan makanan ternak seperti rumput dan legum, tapi juga dapat memanfaatkan limbah pertanian, perkebunan, atau limbah pabrik pangan, (3) tidak mudah rusakoleh faktor biologis karena mempuyai kadar air kurang dari 14%, (4) ketersediaannya berkesinambungan karena sifatnya yang awet dapat bertahan cukup lama sehingga dapat mengantisipasi ketersediaan pakan pada musim kemarau serta dapat dibuat pada saat musim hujan pada saat hasil-hasil hijauan makanan ternak dan produk pertanian melimpah, (5) memudahkan dalam penanganan, karena bentuknya padat kompak sehingga memudahkan dalam penyimpanan dan transportasi.
Penyimpanan
Penyimpanan merupakan salah satu bentuk tindakan pengamanan yang selalu terkait dengan waktu yang bertujuan untuk mempertahankan dan menjaga komoditi yang disimpan dengan cara menghindari dan menghilangkan berbagai faktor yang dapat menurunkan kualitas dan kuantitas komoditi tersebut (Syamsu dkk, 2003).
Penyimpanan yang terlalu lama akan berakibat buruk pada bahan makanan yang selanjutnya dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas ransum .  semakin lama penyimpanan maka akan dihasilkan suatu komponen cita rasa (flavor) yang lain sebagai akibat dari kegiatan biologis, misalnya pemecahan lemak yang menyebabkan ketengikan. Penyimpangan bau selama penyimpanan diakibatkan oleh oksidasi lemak yang terjadi karena kehadiran asam-asam lemak tidak jenuh, oksidasi protein dan berkembangnya organisme pembusuk. (Hall, 1970).
Beberapa metode penyimpanan bahan baku secara modern, menurut Hall (1970) adalah sebagai berikut: 1) Penyimpanan secara terbuka di lantai, atau padatempat tertentu, 2) Penyimpanan pada silo atau gudang, 3) Penyimpanan padakontainer, 4) Penyimpanan di kantong-kantong secara terbuka, 5) Penyimpanan dalam kantong yang sudah ditutup secara permanen.
Penyimpanan bahan pada ruangan terbuka menyebabkan bahan cepat mengalami penurunan daya simpan dan kualitas, karena pengaruh fluktuasi lingkungan (suhu dan kelembaban). Selain itu, ruangan terbuka dapat mencemari bahan baik pencemaran mikro misalnya mikroba maupun pencemaran makro, misalnya serangga (Robi’in, 2007).
Penyimpanan secara an aerob dapat mengurangi penurunan kualitas bahan pakan yang dipengaruhi oleh lingkungan sekitar tempat penyimpanan. Penyimpanan pakan secara aerob dapat mengurangi kualitas pakan akibat adanya kontaminan dari serangga, tungau, mikroorganisme, burung, tikus dan sebagainya. Pakan dalam bentuk bijian jika kehilangan komposisi zat makanannya secara ekonomis akan menurun. Salah satu cara agar penyimpanan secara aerob dapat menekan kehilangan kualitas pakan adalah dengan mengurangi kadar air melalui pengeringan yang akan mengurangi kehilangan kualitas pakan selama penyimpanan dan penanganan serta menekan kehilangan berat selama transportasi, penanganan dan penyimpanan. Pada kadar air yang tinggi akibat penyimpanan aerob dapat menyebabkan kotoran seperti debu dapat menempel. Hal ini akan mengakibatkan penurunan nilai ekonomis karena 70% kualitas akan menurun sehingga untuk mencegah dapat dilakukan dengan penyimpanan secara an aerob. (Arpah 2001).
Soekarto (1990) menyatakan bahwa penyimpanan pakan dapat dilakukan dengan kontrol atmosfer diantaranya dengan penyimpanan tanpa udara (an aerob), penyimpanan dengan rendah oksigen, penyimpanan dengan tinggi karbondioksida, dan pembakaran gas. Kontrol atmosfer ini digunakan untuk kontrol serangga dan menjaga viabilitas pakan selama penyimpanan dalam jangka waktu lama. Penyimpanan secara an aerob paling efektif dalam menjaga kualitas dan kuantitas pakan sehingga dapat mengurangi biaya penanganan karena tanpa penambahan gas. Penyimpanan an aerob dalam pakan bentuk bijian yang mengandung kadar air cukup tinggi dapat mencegah pertumbuhan jamur selama penyimpanan dalam jangka panjang. Kadar air yang tinggi mencapai lebih dari 25% salah satu syarat dalam penyimpanan tanpa udara (an aerob). Perubahan kimia dari pakan yang disimpan secara an aerob dengan kadar air 16-25% akan meningkatkan pada gula mudah dicerna dan penurunan gula yang sulit. pada kadar air lebih dari 25% akan meningkatkan keasaman dengan menjaga temperatur tetap rendah.
Bahan Pakan Sumber Protein
Dedak Padi
Dedak padi merupakan bahan penyusun ransum unggas yang sangat populer, selain ketersediaanya melimpah, juga penggunaannya sampai saat ini belum bersaing dengan kebutuhan pangan, dan harganya relatif murah dibandingkan dengan harga bahan pakan lain. Kandungan energi, protein, vitamin B dan beberapa mineral dalam dedak padi cukup tinggi, namun beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah dedak padi yang dapat digunakan dalam susunan ransum unggas tidak lebih dari 30% (Kratzer dkk., 1974 ).
Adapun dalam ransum komersial penggunaannya sangat terbatas, yaitu antara 10 – 20% karena menurunkan ketersediaan biologis mineral -mineral tertentu, terutama untuk ayam pedaging dan anak ayam yang sedang tumbuh. Hal tersebut disebabkan oleh kandungan serat kasar yang cukup tinggi, serta adanya anti nutrient yang salah satunya adalah fitat. Dilaporkan bahwa dedak padi mengandung 1,44% fosfor, yang 80% diantaranya terikat dalam bentuk fitat (Halloran, 1980).
National Research Council (1994) dedak padi mengandung energy metabolis sebesar 2980 kkal/kg, protein kasar 12.9%, lemak 13%, serat kasar 11,4%, Ca 0,07%, P tersedia 0,22%, Mg 0,95% serta kadar air 9%. Dedak padi merupakan hasil sampingan proses penggilingan padi. Pemanfaatan dedak di Indonesia saat ini hanya terbatas pada pakan ternak. Hal ini sangat disayangkan, mengingat dedak padi dapat dimanfaatkan secara lebih maksimal. Salah satu cara untuk meningkatkan nilai ekonomisnya adalah dengan mengekstrak minyak dedak.
Ampas Tahu
Ampas tahu merupakan sisa hasil pembuatan tahu yang memiliki kandungan gizi yang cukup baik dengan protein kasar sekitar 21,29%. Ampas tahu dapat diawetkan dengan mengubahnya menjadi tepung. Ampas tahu diperoleh dari hasil pembuatan tahu yang dimulai dari perendaman kedelai selama 24 jam, kemudian dicuci dan digiling. Hasil gilingan kedelai itu merupakan bubur pada proses pembuatan tahu yang kemudian dimasak lebih kurang 10 menit dan disaring sehingga diperoleh bagian filtrat yang berupa susu kedelai dan ampas tahu (Sudigdo, 1983).
Ampas tahu dalam keadaan segar berkadar air sekitar 84,5% dari bobotnya. Kadar air yang tinggi dapat menyebabkan umur simpannya pendek. Ampas tahu kering mengandung air sekitar 10,0-15,5%, sehingga umur simpannya lebih lama dibandingkan dengan ampas tahu segar. Ditinjau dari komposisi kimianya ampas tahu dapat digunakan sebagai sumber protein. Ampas tahu lebih tinggi kualitasnya dibandingkan dengan kacang kedelai. Ampas tahu juga mengandung unsur-unsur mineral mikro maupun makro yaitu untuk mikro; Fe 200-500 ppm, Mn 30-100 ppm, Cu 5-15 ppm, Co kurang dari 1 ppm, Zn lebih dari 50 ppm. Ampas tahu dalam keadaan segar berkadar air sekitar 84,5 % dari bobotnya. Kadar air yang tinggi dapat menyebabkan umur simpannya pendek. Ampas tahu basah tidak tahan disimpan dan akan cepat menjadi asam dan busuk selama 2-3 hari, sehingga ternak tidak menyukai lagi. Ampas tahu kering mengandung air sekitar 10,0 - 15,5 % sehingga umur simpannya lebih lama dibandingkan dengan ampas tahu segar (Widyatmoko, 1996).
Tepung Ikan

Tepung ikan mengandung protein yang cukup tinggi, sehingga sering digunakan sebagai sumber utama protein pada pakan unggas, disamping pakan lainnya. Selain sebagai sumber protein, tepung ikan juga dapat digunakan sebagai sumber kalsium. Tepung ikan yang baik mempunyai kandungan protein kasar 58-68%, air 5,5-8,5%, serta garam 0,5-3,0%. (Boniran, 1999)
Anggorodi (1995), mengemukakan bahwa protein adalah bahan makanan yang paling mahal harganya dalam ransum sehingga harus digunakan seefisien mungkin. Harga tepung ikan yang tinggi merupakan pembatas penggunaannya dalam ransum untuk hewan monogastrik (unggas). Kandungan nutrisi tepung ikan yaitu bahankering = 92%, protein kasar = 61%, lemak = 10%, serat kasar = 0,5%, Ca = 1,23%, P= 1,63%, GE = 4094 kkal/kg (NRC, 1994). Tepung ikan ini juga memiliki kelarutan total yang mencerminkan kecernaan dari bahan tersebut. Bahan pakan yang kelarutannya tinggi (mudah larut) artinya memiliki kecernaan yang tinggi pula. Kelarutan total bahan pakan sumber nabati lebih tinggi daripada bahan pakan sumber hewani (Qomariyah, 2004).
Menurut Rasidi (1998) proses pemasakan ikan pada pembuatan tepung ikan secara sederhana adalah selama 30 menit, kemudian di-press pada saat masih panas untuk menghilangkan kadar air dan lemak terlarut.
Tepung Jagung
Tepung jagung adalah bentuk hasil pengolahan bahan dengan cara penggilingan atau penepungan. Tepung jagung adalah produk setengah jadi dari biji jagung kering pipilan yang dihaluskan dengan cara penggilingan kemudian di ayak. (Tangendjaja dan  Gunawan. 1998.).
Tepung jagung adalah tepung yang diperoleh dengan cara menggiling biji jagung yang bersih dan baik. Secara umum, terdapat dua metode pembuatan tepung jagung yaitu metode basah dan metode kering. Pada metode basah, biji jagung yang telah disosoh direndam dalam air selama 4 jam lalu dicuci, ditiriskan dan diproses menjadi tepung menggunakan mesin penepung. Sedangkan pada metode kering, biji jagung yang telah disosoh ditepungkan, artinya tanpa perendaman. Pada prinsipnya, penggilingan biji jagung adalah proses pemisahan perikarp, endosperma dan lembaga, kemudian dilanjutkan dengan proses pengecilan ukuran. Perikarp harus dipisahkan pada proses pembuatan tepung karena kandungan seratnya yang cukup tinggi sehingga dapat membuat tepung bertekstur kasar. Pada pembuatan tepung, dilakukan pemisahan lembaga karena tanpa pemisahan lembaga tepung akan mudah mengalami ketengikan. Tip cap juga harus dipisahkan karena dapat membuat tepung menjadi kasar. Pada pembuatan tepung, endosperma merupakan bagian yang digiling menjadi tepung (Suarni dkk, 2001).
Tepung jagung memiliki kandungan lemak dan kandungan amilosa yang tinggi sehingga sulit untuk mengikat air selama proses pemasakan. Kandungan lemak pada tepung jagung menyebabkan terhalangnya kontak antara air dengan protein dalam jagung. Sedangkan kandungan amilosa pada jagung memiliki struktur yang kompak sehingga sulit untuk ditembus oleh air. Rendahnya tingkat kemampuanmengikatair inilah yang menyebabkan kemampuan granula pati untuk menggelembung pada gelatinisasi menjadi rendah (Alam, 2010).
Tepung Ubi Kayu
Ubi kayu segar dapat diolah menjadi tiga macam bentuk tepung yaitu tepung ubi kayu (cassava flour), tepung gaplek (cassava chip flour), dan tepung tapioka (tapoica starch). Tepung ubi kayu mempunyai beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan tepung gaplek dan tepung tapioka. Tepung ubi kayu mempunyai kadar HCN yang lebih rendah dari tepung gaplek, serta lebih tahan terhadap serangan hama selama penyimpanan. Proses pengolahan tepung ubi kayu menggunakan teknologi yang relatif sederhana dibandingkan proses pengolahan tepung tapioka sehingga dapat dibuat dengan mudah dan cepat, serta tidak membutuhkan banyak air dan tempat pengolahan yang luas (Febriyanti, 1990).
Tepung yang berasal dari umbi-umbian khususnya ubi kayu umumnya memiliki kandungan pati yang tinggi, karenanya cocok untuk mengatasi kebutuhan kalori di dalam makanan. Tetapi umumnya memiliki kandungan protein yang rendah (Muharam, 1992).
Hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan tepung ubi kayu adanya komponen toksik. Komponen toksik yang terdapat pada umbi ubi kayu adalah asam sianida (HCN). Menurut Soekarto (1990), kandungan HCN dalam umbi ubi kayu tergantung pada varietas, lokasi, dan kondisi pertanian. Dalam bidang pertanian, dikenal umbi manis, yaitu umbi ubi kayu yang memiliki kandungan HCN relatif rendah dan umbi pahit, yaitu umbi ubi kayu yang memiliki kandungan HCN yang tinggi.
Di dalam umbi ubi kayu, HCN tidak terdapat bebas melainkan terikat dalam bentuk senyawa yang disebut linamarin atau glukosida aseton sianohidrin. Senyawa ini baru bersifat toksik bila telah terurai. Linamarin oleh enzim linamerase yang secara alami terdapat dalam ubi kayu dapat terurai dan melepaskan HCN. Batas aman kandungan HCN adalah sekitar 0,5-3,5 mg HCN/kg berat bahan, sedangkan jumlah HCN di dalam umbi, menurut FAO cukup aman bila kurang dari 50 mg/kg umbi kering (Winarno, 1993).
Molases
Molases adalah hasil samping yang berasal dari pembuatan gula tebu (Saccharum officinarum L). Molases berupa cairan kental dan diperoleh dari tahap pemisahan kristal gula. Molases tidak dapat lagi dibentuk menjadi sukrosa namun masih mengandung gula dengan kadar tinggi 50-60%, asam amino dan mineral. Molases kaya akan biotin, asampantotenat, tiamin, fosfor, dan sulfur. Selain itu juga mengandung gula yang terdiri dari sukrosa 30-40%, glukosa 4-9%, dan fruktosa 5-12%. Tetes tebu digunakan secara luas sebagai sumber karbon untuk denitrifikasi, fermentasi anaerobik, pengolahan limbah aerobik, dan diaplikasikan pada budidaya  perairan. Karbohidrat dalam tetes tebu telah siap digunakan untuk fermentasi tanpa perlakuan pendahuluan karena sudah berbentuk gula (Hidayat dkk, 2006).
Molases sebagai media fermentasi digunakan sebagai sumber bahan makanan bagi bakteri selama proses fermentasi berlangsung. Bakteri akan menggunakan sumber karbohidrat sebagai sumber makannya. Ketika sumber karbohidrat di dalam medium telah habis terpakai, maka bakteri beralih menggunakan sumber nitrogen.Penambahan karbohidrat seperti tetes dimaksudkan untuk mempercepat terbentuknya asam laktat serta menyediakan sumber energi yang cepat tersedia bagi bakteri. Komposisi nutrisi tetes dalam 100 % bahan kering adalah 0,3 % lemak kasar, 0,4 % serat kasar, 84,4 % BETN, 3,94 % protein kasar dan 11% abu (Sutardi, 1981).












METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Februari 2015. Dengan melalui tiga tahap, yang pertama pembuatan wafer klobot dan daun jagung dalam bentuk wafer pakan komplit dan tahap kedua penyimpanan pakan dengan mengamati karakteristik fisik wafer pakan pakan serta tahap ketiga menganalisis kadar nutrisi pakan di Laboratorium Industri Pakan dan Laboratorium Kimia Makanan Ternak,, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar.
Materi Penelitian
Alat yang digunakan meliputi tong penampung limbah sayuran, mesin forage choper, mixer, timbangan, oven, cawan, alat kempa yang digunakan dalam proses pengempaan pada pembuatan wafer, seng, kawat dan kemasan karung plastik.
Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu  limbah  jerami jagung  (klobot jagung,  dan daun jagung), ampas tahu, tepung jagung, molasses, tepung ubi, MBM, dedak padi.
Metode Penelitian
Rancangan  percobaan  yang  akan  digunakan  dalam  penelitian  ini  adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) Pola Faktorial 3 x 3 dengan 3 ulangan. Faktor pertama adalah komposisi atau rasio klobot jagung dan daun jagung sebagai berikut :
R1 = 30% jerami klobot jagung
R2 = 30% jerami daun jagung
R3 = 15% jerami daun jagung + 15% klobot jagung
Faktor kedua adalah waktu penyimpanan yaitu :
W0 = 0 minggu
W2 = 2 minggu
W4 = 4 minggu
Kandungan zat-zat nutrisi setiap bahan pakan yang digunakan dalam pembuatan wafer pakan komplit dapat dilihat pada Tabel 4 sebagai berikut.
   Tabel 2. Komposisi Bahan Pakan Wafer Setiap Perlakuan
Nutrisi

Perlakuan (%)
R1
R2
R3
Klobot Jagung

30
-
15
Daun Jagung

-
30
15
Dedak padi

26
26
26
Ampas tahu

8
8
8
MBM

6
6
6
Tepung ubi

7
7
7
Tepung jagung

10
25
25
Molasses

5
5
5
NaCl

5
5
5
Mineral mix

3
3
3
Total

100
100
100

Prosedur Pembuatan Wafer Pakan Komplit
Klobot jagung dan daun jagung dipotong – potong kasar kemudian digiling. Demikian juga bahan pakan konsentrat juga digiling kasar. Semua bahan pakan ditimbang setelah diformulasikan, kemudian di mixer dan diberi uap panas. Apabila campuran sudah matang, maka dilakukan pencetakan dengan menggunakan cetak UMB. Semua bahan dicetak degan menggunakan tekanan yang sama agar seragam. Setelah di cetak dilakukan pengovenan sampai kering (2x 24 jam) dengan maksud mengusahakan semua wafer pakan komplit berada dalam kondisi dan berat yang konstan. Kemudian sampel di kemas dengan menggunakan plastik dan diberi label sample sesuai dengan faktor perlakuan dan faktor penyimpanan. Setelah dikemas dengan rapi wafer pakan komplit disimpan diatas meja dalam ruangan yang bersih dan bebas dari organisme.  
Adapun prosedur dalam pembuatan wafer pakan komplit dapat dilihat pada Gambar 1 berikut :









 Gambar 1. Prosedur pembuatan wafer pakan komplit
Analisis Sampel
Analisa bahan kering, bahan organik, dan protein kasar dilakukan dengan analisa proksimat. Untuk mengetahui kandungan bahan kering, dan  bahan organik, dilakukan menurut prosedur sebagai berikut (AOAC, 2005):
Parameter Yang Diukur
A. Bahan Kering
  1. Cawan porselin yang bersih dimasukkan ke dalam oven pada suhu 105°C selama 2 jam. Kemudian didinginkan di dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang (a gram).
  2. Menimbang sampel sebanyak 1 gram kemudian dimasukkan ke dalam cawan porselin (b gram).
  3. Kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu 105°C selama 24 jam dan setelah kering didinginkan dalam desikator dan ditimbang kembali (c gram).
Rumus yang digunakan :
Kering Bahan Kering   =c-abx100%
Kadar Air = 100% -  Bahan Kering
Keterangan
  1. Berat Cawan Kosong (gram)
  2. Berat Sampel Sebelum Oven (gram)
  3. Berat cawan + Sampel setelah oven (gram)
B. Bahan Organik
    1. Sampel ditambah cawan penetapan kadar air di atas dimasukkan ke dalam tanur listrik selama 3 jam pada suhu 600°C.
    2. Dibiarkan agak dingin (suhunya sekitar 200°C), kemudian dimasukkan ke dalam desikator selama 30 menit, lalu ditimbang (d gram).
Rumus yang digunakan untuk menghitung kadar abu adalah:
Bahan Kering=d-ab-ax100
Keterangan
  1. Berat cawan kosong (gram)
  2. Berat sampel sebelum di tanur (gram)
  3. Berat cawan + sampel setelah di tanur (gram)
Pengolahan Data
Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap Pola Faktorial 3 x 3 dengan tiga ulangan. Apabila perlakuan berpengaruh nyata terhadap parameter yang diukur, dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan (Gaspersz, 1994).
Adapun Model Matematik  dari  rancangan percobaan  yang digunakan adalah sebagai berikut :
Hijk = Ï€ + Rj  + Wk + (Rj x Rk ) + εijk
Keterangan :
Hij = Hasil akibat perlakuan ke-j perlakuan ke-k pada ulangan ke-i
Ï€ = Nilai rataan umum
Rj = Pengaruh faktor perlakuan ke-j
Wk = Pengaruh faktor perlakuan ke-k
Rj x Wk = Interaksi perlakuan ke-j dan perlakuan ke-k
εijk = Error akibat perlakuan ke-j dan perlakuan ke-k pada ulangan ke-k
i = 1,2….., u (u = ulangan
j = 1,2,…., r ke-1 (r = perlakuan ke-1)
k = 1,2…., w ke-1 (w = Perlakuan ke-1)


HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Perlakuan Terhadap Bahan Kering Wafer Pakan Komplit
Rataan kadar bahan kering wafer pakan komplit perlakuan, lama penyimpanan dan interaksi antar perlakuan dengan lama penyimpanan dapat dilihat pada Table 3 berikut :
Tabel 3.  Rataan Kadar Bahan Kering (%) Wafer perlakuan, lamam penyimpanan dan interaksi perlakuan dengan lama penyimpanan  Jerami Klobot dan Daun Jagung Selama Masa Penyimpanan yang Berbeda
Perlakuan
Lama Penyimpanan
Rataan
W0
W2
W4
R1
97.47±0.39b
96.90±0.28b
95.83±0.70a
96.73±0.83c
R2
97.27±0.22b
96.20±0.60b
93.17±0.67a
95.55±1.92b
R3
97.07±0.07c
94.79±1.05b
92.9±0.51a
94.92±1.89a
Rataan
97.27±0.28c
95.96±1.12b
93.97±1.53a

Keterangan :Superskrip yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
R1 = 30% jerami klobot jagung
R2 = 30% jerami daun jagung
R3 = 15% jerami daun jagung + 15% klobot jagung
W1 = 0 minggu
W2 = 2 minggu
W3 = 4 minggu

Sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan klobot dan daun jagung berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap kandungan bahan kering wafer pakan komplit. Uji jarak berganda Duncan menunjukkan bahwa perlakuan klobot dan daun jagung R1 sangat nyata (P<0.01) lebih tinggi. Nilai pakan kadar bahan kering lebih tinggi diperlihatkan pada perlakuan R1 (Table 2) dari pada perlakuan R2 dan R3, sedangkan R2 nyata (P<0.05) lebih tinggi daripada perlakuan R3. Hal ini mungkin karena klobot jagung lebih banyak mengandung bahan kering dari pada daun jagung, dimanan klobot jagung kandungan bahan keringnya 91,41%.
Pengaruh perlakuan penyimpanan terhadap bahan kering wafer pakan komplit
Sidik ragam menunjukkan bahwa pengaruh lama penyimpanan berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap bahan kering wafer pakan komplit. Uji jarak berganda Duncan menunjukkan bahwa perlakuan lama penyimpanan  W0 sangat nyata (P<0.01) lebih tinggi daripada W2 dan W4 terhadap kadar bahan kering wafer pakan komplit. Sedangkan perlakuan penyimpanan W2 nyata (P<0.05) lebih tinggi dari pada perlakuan penyimpanan W4 terhadap bahan kering wafer pakan komplit. Kandungan bahan kering wafer pakan komplit lebih tinggi diperlihatkan pada perlakuan penyimpanan W0. Hal ini mungkin karena dalam penyimpanan terjadi oksidasi sehingga bahan kering wafer pakan komplit mulai menurun selama penyimpanan berlangsung.
Hubungan interaksi antara perlakuan wafer pakan komplit dengan lama penyimpan terhadap kadar bahan kering menujukkan bahwa perlakuan R1W4 beda nyata (P<0.05) lebih tinggi daripada R1W0 dan R1W2. sedangkan pada perlakuan R2W4 beda nyata (P<0.05) lebih tinggi dari pada R2W0 dan R2W2, serta perlakuan R3W4 beda nyata (P<0.05) lebih tinggi daripada R3W0 dan R3W2. Menurunnya kadar bahan kering pada perlakuan wafer pakan komplit dengan lama penyimpanan dapat disebabkan karena pada saat penyimpanan dalam jangka panjang kemungkinan terjadi oksidasi pada wafer pakan komplit.
Interaksi antara komposisi bahan pakan dengan lama waktu penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Grafik Interaksi antara Komposisi bahan pakan dengan Lama waktu penyimpanan terhadap kadar Bahan Kering
Analisis regresi memperlihatkan bahwa hubungan antara lama penyimpanan (x) dengan kadar bahan kering  wafer pakan komplit (y) menyangkut persamaan regresi linear y = 97.55 – 0.4x (r2 = 0.84) pada perlakuan R1. Hal ini berarti bahwa dapat di estimasi dalam setiap penambahan waktu 1 minggu penyimpanan wafer pakan komplit menurunkan 0,84% kadar bahan kering.  Pada perlakuan R2 dengan persamaan regresi linear y = 97.6 – 1.02x (r2 = 0.92). Hal ini berarti bahwa dapat di estimasi setiap penambahan waktu 1 minggu penyimpanan wafer pakan komplit meningkatkan 1,02% kadar bahan kering sedangkan pada perlakuan R3 dengan persamaan regresi linear y = 97 – 1.04x (r2 = 0.94). Hal ini berarti bahwa dapat di estimasi setiap penambahan waktu 1 minggu penyimpanan wafer pakan komplit meningkatkan 1,04% kadar bahan kering. Berdasarkan ketiga perlakuan tersebut memperlihatkan bahwa pada perlakuan R2 mengalami penurunan yang signifikan dibandingkan kedua perlakuan dalam hubungan antara lama penyimpanan dengam kadar bahan kering wafer pakan komplit.
Wafer pakan komplit diharapkan mampu menjadi bahan pakan alternatif dimana ketersediaan bahan baku dan komposisi nutrisi yang mencukupi untuk kebutuhan ternak serta dapat disimpan dalam jangka waktu yang panjang.  Hal ini sesuai dengan pendapat Furqaanida (2004). yang menyatakan bahwa syarat bahan pakan sebagai pakan alternatif yaitu produksi melimpah, sisah olahan limbah yang masih dapat diolah kembali, mengandung nutrisi yang dibutuhkan  oleh ternak serta berharga ekonomis.
Pengaru Perlakuan Terhadap Bahan Organik Wafer Pakan Komplit
Rataan kadar bahan organik wafer pakan komplit perlakuan, lama penyimpanan dan interaksi antar perlakuan dengan lama penyimpanan dapat dilihat pada Table 4.
Tabel 4. Rataan Kadar Bahan Organik (%) Wafer perlakuan, lamam penyimpanan dan interaksi perlakuan dengan lama penyimpanan  Jerami Klobot dan Daun Jagung Selama Masa Penyimpanan yang Berbeda
Perlakuan
Lama Penyimpanan
Rataan
W0
W2
W4
R1
83.66±0.20b
82.85±0.52ab
82.47±0.75a
82.99±0.70c
R2
80.54±0.39c
79.23±0.85b
77.12±0.57a
78.96±1.59a
R3
81.97±0.44b
79.44±1.21a
78.91±0.85a
79.91±1.79b
Rataan
82.05±1.38c
80.51±1.93b
79.30±2.51a

Keterangan : Superskrip yang berbeda menunjukkan berbeda nyata  (P<0,05)
R1 = 30% jerami klobot jagung
R2 = 30% jerami daun jagung
R3 = 15% jerami daun jagung + 15% klobot jagung
W1 = 0 minggu
W2 = 2 minggu
W3 = 4 minggu

Sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan klobot dan daun jagung berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap kandungan bahan organik wafer pakan komplit. Uji jarak berganda Duncan menunjukkan bahwa perlakuan klobot dan daun jagung R1 sangat nyata (P<0.01) lebih tinggi. Nilai pakan kadar bahan organik lebih tinggi diperlihatkan pada perlakuan R1 (Table 3) dari pada perlakuan R2 dan R3, sedangkan R3 nyata (P<0.05) lebih tinggi daripada perlakuan R2. Hal ini mungkin karena daun jagung mengandung kadar bahan organik lebih rendah dari pada klobot jagung.
Sidik ragam menunjukkan bahwa pengaruh lama penyimpanan berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap bahan organik wafer pakan komplit. Uji jarak berganda Duncan menunjukkan bahwa perlakuan lama penyimpanan  W0 sangat nyata (P<0.01) lebih tinggi daripada W2 dan W4 terhadap kadar bahan organik wafer pakan komplit. Sedangkan perlakuan penyimpanan W4 nyata (P<0.05) lebih tinggi dari pada perlakuan penyimpanan W2 terhadap bahan organik wafer pakan komplit.
Berdasarkan sidik ragam interaksi antara perlakuan wafer pakan komplit dengan lama penyimpan terhadap kadar bahan organik menujukkan bahwa perlakuan R1W4 berbeda nyata (P<0.05) lebih rendah daripada R1W0. Pada perlakuan R2W4  berbeda nyata (P<0.05) lebih rendah daripada R2W2, sedangkan R2W2 berbeda nyata (P<0.05) lebih rendah daripada R2W0. Pada perlakuan R3W2 dan R3W4 berbeda nyata (P<0.05) lebih rendah daripada R3W0. Hal ini disebabkan karena pada masa penyimpanan adanya interaksi yang kompleks antara lingkungan dan wafer pakan komplit. Hal ini sesuai dengan pendapat  Arpah (2001) yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang dapat menurunkan kualiatas Nutrisi pada suatu bahan pakan ialah faktor lingkungan. Yang dimana faktor lingkungan itu meliputi suhu, Ph, kelembapan, mikroorganisme dan keadaan bahan pakan tersebut.
Interaksi antara komposisi bahan pakan dengan lama waktu penyimpanan dapat dilihat pada G ambar 3.
Gambar 3. Grafik Interaksi antara Komposisi bahan pakan dengan Lama waktu penyimpanan terhadap kadar Bahan Organik
Analisis regresi memperlihatkan bahwa hubungan antara lama penyimpanan (x) dengan kadar bahan organik  wafer pakan komplit (y) menyangkut persamaan regresi linear pada R1 y = 83.58 – 0.29x (r2 = 0.72) . Hal ini berarti bahwa dapat di estimasi dalam setiap penambahan waktu 1 minggu penyimpanan wafer pakan komplit menurunkan 0,72% kadar bahan organik.  Pada perlakuan R2 dengan persamaan regresi linear y = 80.69 – 0.85x (r2 = 0.93). Hal ini berarti bahwa dapat di estimasi setiap penambahan waktu 1 minggu penyimpanan wafer pakan komplit meningkatkan 0.85% kadar bahan organik sedangkan pada perlakuan R3 dengan persamaan regresi linear y = 81.73 – 0.94x (r2 = 0.88). Hal ini berarti bahwa dapat di estimasi setiap penambahan waktu 1 minggu penyimpanan wafer pakan komplit meningkatkan 0.94% kadar bahan organik. Berdasarkan ketiga perlakuan tersebut memperlihatkan bahwa pada perlakuan R3 mengalami penurunan yang signifikan dibandingkan kedua perlakuan dalam hubungan antara lama penyimpanan dengam kadar bahan organik wafer pakan komplit.
Bahan oranik merupakan salah satu analisis kimia yang penting untuk mengetahui kualitas bahan pakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata nilai kadar bahan organik pada wafer pakan komplit adalah 80.62% selama penyimpanan 4 minggu. Penurunan kadar bahan organik berbanding lurus dengan lama waktu penyimpanan bahan pakan. Wafer pakan komplit diharapkan mampu menjadi alternatif pakan yang lebih lengkap.
Pembuatan wafer pakan komplit bertujuan untuk menghasilkan pakan yang lebih kompleks dari segi kandungan nutrisi dan lebih mudah dalam penyimpanan. Hal ini sesuai dengan pendapat Basymeleh (2009), bahwa keuntungan pakan dalam bentuk wafer adalah kualitas nutrisi lengkap (wafer ransum komplit), bahan baku dari hijauan makanan ternak dan juga dapat memanfaatkan limbah pertanian, perkebunan atau limbah. Wafer memudahkan dalam penanganan penyimpanan dan transportasi karena bentuknya padat kompak serta ketersediaannya berkesinambungan karena dapat dibuat pada musim hujan maupun musim kemarau.



KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
  1. Perlakuan klobot dan daun jagung dalam wafer pakan komplit menurunkan kadar bahan kering selama masa penyimpanan 4 minggu, tapi masih baik dijadikan sebagai pakan  ternak.
  2. Perlakuan klobot dan daun jagung dalam wafer pakan komplit menurunkan kadar bahan organik selama masa penyimpanan 4 minggu, tapi masih baik dijadikan sebagai pakan ternak.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini dalam pembuatan wafer pakan komplit pakan mengandung klobot dan daun jagung tidak perlu dilakukan penyimpanan dalam jangka panjang










DAFTAR PUSTAKA
Alam. 2010. potensi jagung di indonesia. http://alambenzosnesia. blogspot.com. Diakses tanggal 21 November 2014
Ali, U. 2008. pengaruh penggunaan onggok dan isi rumen sapi dalam pakan komplit terhadap penampilan kambing peranakan etawah (skripsi). Jurusan  Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas PeternakanUniversitas Islam, Malang. hlm 22
Anggorodi, H. 1995. Nutrisi Aneka Ternak Unggas. PT. Gramedia, Pustaka Utama. Jakarta
Anggraeny YN, Umiyasih U, Krishna NH. 2006. Potensi Limbah Jagung Siap Rilis Sebagai Sumber Hijauan Sapi Potong. Di dalam : Prosiding Lokakarya Nasional Jejaring Pengembangan Sistem Integrasi Jagung-Sapi; Pontianak, 9 – 10 Agustus 2006. Puslitbangnak, Departemen Pertanian. Bogor.
Anonim 1986, Limbah Tanaman Jagung untuk Meningkatkan Produksi Ternak. Penerbit Harian Pelita, Jakarta

_______ . 2005.  official methods of analysis association of official analytical chemistry, association of analytical chemists.   ed 18th. Maryland  (USA): jurnal International

_______,  2006. limbah tanaman sebagai pakan ruminansia, Jakarta.

_______. 2007. produksi, luas panen dan produktivitas palawija di indonesia tahun 2003-2007. Departemen Pertanian. Jakarta
_______. 2008. pakan ruminansia (domba). http://soegeng.wordpress.com /2008/09/05 /pakan-ruminansia-domba/ .Diakses pada tanggal 27 November  2014.

_______. 2012. luas panen dan produksi tanaman palawija menurut kabupaten/kota di Sulawesi Selatan.

_______. 2014. tabel kandungan nutrisi bahan ransum pakan dari beberapa referensi. Malang. Jawa Timur.
Arpah. 2001. Penentuan Kedaluwarsa ProdukPangan. Program Studi Ilmu Pangan, Institut Pertanian Bogor Press. Bogor

Basymeleh, S. 2009. pengaruh jenis hijauan pakan  dan lama penyimpanan terhadap sifat fisik wafer. Skripsi. Fakultas Peternakan Intitut Pertanian Bogor, Bogor. hlm 15
Blummel, M., H. Steingas and H. Becker. 1997. The Realitionship Between In Vitro Gas Prodution, In vitro Biomass Yield and Incorporation and It is Impication of Voluntri Feed Intake of Roughages.J. Nutr.77 : 911–921

Boniran, S. 1999. Quality Control untuk Bahan Baku dan Produk Akhir Pakan Ternak Kumpulan Makalah Feed Quality Management Workshop, American Soybean Asosiation dan Balai Penelitian Ternak.

Elita, A. S. 2006. studi perbandingan penanmpilan umum dan kecernaan pakan pada kambing dan domba lokal. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. hlm 13

Febriyanti, T., 1990. studi karakteristik fisiko kimia dan fungsional beberapa varietas tepung singkong. skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hlm 24-25

Furqaanida N. 2004. pemanfaatan klobot jagung sebagai substitusi sumber serat ditinjau dari kualitas fisik dan palatabilitas wafer ransum komplit untuk domba (skripsi). Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. hlm 43
Hall, C.W. 1970. Handling and Storage of Grain in Tropical and Subtropical Areas.FAO.Rome
Halloran , H.R. 1980 .Phytate Phosphorus in Feed Formula tion. Feedstuffs. August 4

Hardjodinomo. 1982. Bertanam Jagung. Penerbit Bina Cipta. Bandung.
Hidayat, N., M. C. Padaga dan S. Suhartini, 2006. Mikrobiologi Industri. Penerbit PT Pembangunan. Yogyakarta.

Huitema, H. 1986. Peternakan Daerah Tropis : Arti Ekonomi dan Kemampuannya. Penerbit Yayasan Obor Indonesia dan PT. Gramedia, Jakarta.

Kratzer, F.H., Leslie Earl dan C. Chiaravanont. 1974.  Fac tors Influencing the Feeding Value of Rice Bran for Chickens . Poult. Sci. 53 : 1795 -1800.

Kusumaningrum, B. I. 2009. kajian kualitas ransum kambing peranakan ettawa di balai pembibitan dan budidaya ternak ruminansi. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas diponegoro, Semarang. hlm 22

Lubis, D. A. 1992. Ilmu Makanan Ternak. Penerbit PT Pembangunan, Jakarta

National Research Council. 1994. Nutrient Requipment of Poultry. 9th Revised Edition.National Academy Press, Washington D.C.
Muharam, S., 1992. studi karakteristik fisiko kimia dan fungsional tepung singkong (manihot esculenta crantz) dengan modifikasi pengukusan, penyangraian, dan penambahan gms, serta aplikasinya dalam pembuatan roti tawar. skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. hlm 33-35

Mulyaningsih, T. 2006. penampilan domba ekor tipis (ovis aries) jantan yang digemukkan dengan beberapa imbangan konsentrat dan rumput gajah (pennisetum purpureum).skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor. hlm 25

Murni, R., Akmal, dan Y. Okrisandi. 2012. Pemanfaatan Kulit Buah Kakao yang Difermentasi dengan Kapang Phanerochaete Chrysosporium sebagai Pengganti Hijauan dalam ransum Ternak Kambing.Agrinak. Vol. 02 No. 1 Maret 2012:6-10.

Parakkasi, A. 1995. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Purwono dan R .Hartono., 2006. Bertanam Jagung Unggul. Penerbit Penebar Sawadaya. Jakarta.

Rasidi. 1998. Formulasi Pakan Lokal Alternatif Untuk Unggas. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta

Retnani, Y.  S. Basymeleh, L. Herawati. 2009. pengaruh jenis hijauan pakan dan lama penyimpanan terhadapsifat fisik wafer.Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan November, 2009, Vol. XII, No. 4.

Robi’in. 2007. perbedaan bahan kemasan, periode simpan dan pengaruhnya terhadap kadar air benih jagung dalam ruang simpan terbuka. skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. hlm 22

Rukmana, R. H. 1997. Usaha Tani Jagung. Penerbit Kasinius, Yogyakarta.
Soekarto, S.T., 1990. Dasar-Dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu Pangan.Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat AntarUniversitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor Press, Bogor

Suarni, O. Komalasari, dan Suardi. 2001. Karakteristik tepung jagung beberapa varietas/galur. Prosiding Seminar Regional BPTP, Palu. hlm. 157-163

Sudigdo, E.M. 1983. Kedelai Dijadikan Lebih Bergizi. Cetakan ke-2. Terate, Bandung
Sutardi, T. 1981. Sapi Perah dan Pemberian Makannya. Departemen Ilmu  Makanan Ternak. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor (Tidak Dipublikasikan).

Syamsu, J. A., L.A. Sofyan, K. Mukdjo & E. G. Sa’id. 2003. Daya dukung limbah
pertanian sebagai sumber pakan ternak ruminansia di Indonesia. Bulletin Wartazoa
13(1) : 30-37.
Tangendjaja, T. Dan B. Gunawan. 1988. Jagung dan limbahnya untuk makanan ternak. Dalam Jagung, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. hlm 11

Tarigan, A. 2009. produktivitas dan pemanfaatan indigofera sp sebagai pakan ternak kambing pada interval dan intensitas pemotongan yang berbeda. Institut Pertanian Bogor, Bogor. hlm 19

Trisyulianti, E. 1998. Pembuatan wafer rumput gajah untuk pakan ruminansia besar. Proc.Seminar  Hasil-hasil  Penelitian  Institut  Pertanian  Bogor.  Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. hlm 29-33
Umiyasih, U. & E. Wina. 2008. Pengolahan dan nilai nutrisi limbah tanaman jagung sebagai pakan ternak ruminansia. Bulletin Wartazoa. 18(3) : 127-136.
Widyatmoko A.. 1996. studi pemanfaatan ulat sutra (bombyx mori linn). keong mas (pomacea sp.) dan ampas tahu dalam ransum broiler dengan beberapa peubah. skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor. hlm 34-36

Winarno, F.G. 1993. Pangan Gizi Tehnologi dan Konsumen, penerbit PT GramediaPustaka Utama, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar